The Beauty of Indonesian Coming of Age in Jurnal Jo (Ken Terate, 2008)

naznienfevrianne
Written by naznienfevrianne on
The Beauty of Indonesian Coming of Age in Jurnal Jo (Ken Terate, 2008)

Setelah melewati badai (re: ujian dan proyek akhir) di semester tiga, gue malah bingung mau ngapain pas liburan. Udah daftar course-course gitu, tapi masih males (dan gue tidak mau memaksakan diri, karena gue masih ingin menikmati hari-hari gak ngapa-ngapain ini). Liat-liat Tiktok, bosen. Instagram dan Twitter juga gitu-gitu aja. Akhirnya gue berusaha catching up hobi jaman sekolah dulu, baca buku.

Kadang iri dan kagum sih sama gue jaman dulu, dulu gue masih bisa menyempatkan diri baca novel-novel Agatha Christie di tengah-tengah UTS/UAS, baca karya-karyanya Jostein Gaarder yang tebal2 itu karena sok-sok tertarik dengan filsafat (waktu itu masih sangat ingin ngambil jurusan soshum) dan nyisihin uang jajan buat beli buku. Sekarang? Hahahaha. Yang gue baca sehari-hari cuma Twitter kayaknya🤣. Mumpung masih liburan, akhirnya gue memutuskan… gue kayaknya kepingin baca buku lagi.

Tapi, baca buku apa?

Sekarang kayaknya gue udah gak sanggup baca buku yang ndakik-ndakik. Entahlah, lagi capek aja. Akhirnya, coba cari novel Metropop dan Romance menye-menye, tapi entah kenapa belum ada yang sreg dan selesai. Gak tau kenapa, enemies to lovers, friends to lovers dan fafifu romantic trope lainnya sudah gak begitu menarik buat gue (oke, statement ini tentunya bisa berubah, karena bisa saja gue belum menemukan buku yang tepat). Lumayan sulit untuk menemukan buku yang ingin gue mulai baca ternyata. Gue sebenarnya cuma ingin baca buku yang menyenangkan dan bikin gue gak bisa berhenti bacanya. Simple, ‘kan? Tapi, sumpah… susah.

Sampai akhirnya gue ketemu Jurnal Jo.

Setelah stuck dan belum menemukan buku apa yang gue pengen baca, gue akhirnya coba buka-buka account Goodreads gue (I do use Goodreads, tapi gak banyak menulis ulasan disana, belum sempat, mungkin😃). Setelah scroll-scroll sekian lama, gue menemukan Jurnal Jo, yang review-nya cukup bagus dan blurb-nya menarik.

Ini buku pertama dari Ken Terate yang gue baca. So last year abis sih memang, soalnya Ken Terate adalah salah satu penulis yang cukup terkenal di genre teenlit. Mungkin karena gue gak segitu seringnya baca teenlit. Awalnya gue kira ini buku terjemahan dari bahasa Jepang. Entahlah, gue awalnya begitu yakin kalau Ken Terate ini orang Jepang. Kayak… temannya Haruki Murakami gitu kali, ya? Hahaha. Ternyata, usut punya usut, Ken Terate adalah orang jogja, ibu-ibu berhijab lulusan Sastra Inggris UGM. Wah… sangat jauh dari dugaan gue. 🤣

Jadi… Jurnal Jo itu novel apa? Ok, here’s the blurb,

Peraturan jadi remaja:
1. Tidak boleh memakai celana pendek (apalagi di depan cowok)
2. Punya baju dan aksesoris yang oke (apalagi yang bisa membedakanmu dari anak-anak SMP yang seragamnya semua sama membosankannya)
3. Harus memakai deodoran (walau geli rasanya)
4. Memakai pakaian dalam yang seharusnya, sesuai pertumbuhanmu (tahu kan maksudku?)
5. Harus punya geng yang keren (meski mereka sangat menjengkelkan, tahan saja, daripada dicap sebagai remaja kuper)
6. Harus punya pacar (ini syarat supaya kamu diakui sebagai remaja keren).

Ternyata susah banget jadi remaja, sampai-sampai kadang-kadang aku (Jo Wilisgiri, 12 tahun) berharap aku nggak perlu tumbuh. Aku kangen banget pada masa SD-ku. Apalagi aku mulai kehilangan sahabat baikku dan dikhianati cowok yang kukagumi. Satu kata untuk masa SMP-ku: MENGERIKAN!

Kalau gue bisa jelaskan dengan singkat isi dari Jurnal Jo, ini adalah novel yang berisi diary bocah SMP yang baru mau puber. Se-simple itu premisnya. Cuma… gue gak tau bagaimana Ken Terate bisa buat itu jadi menarik BANGET. Gue beneran ke hook dengan paragraf-paragraf awal pada novel ini. Well, kayaknya gue perlu menunjukkan bagaimana Jurnal Jo diawali oleh tiga paragraf ini:

JurnalJo-Intro
The start of Jurnal Jo

Ken Terate membuka Jurnal Jo dengan omelan, keluhan khas anak-anak (yang tentunya sangat kekanak-kanakan dan polos) yang begitu mengalir dan terasa genuine. Sampai-sampai gue harus cek background penulisnya dan meyakinkan diri kalau novel ini bukan sejenis KKPK yang emang ditulis oleh anak-anak. Keluguan dan sarkasme itu terus hadir di paragraf-paragraf berikutnya. Kocak. Banget. Beneran sebagian besar narasinya punya punchline yang effortless, yang timbul dari kepolosan (dan sinical) khas Jo.

Josephine Wilisgiri, cewek 12 tahun ini benci sama SMP-nya. Selain ia harus berada satu sekolah dengan bapaknya (yang adalah guru bahasa Jawa di sekolahnya), Sally—teman baiknya sejak kecil juga ikut berubah. Sally ini tiba-tiba jadi rempong abis gitu. Pakai rok SMP dipendekin, mengganti nama panggilannya dan pakai lipice (sejenis lip gloss yang awalnya Jo pikir merupakan minuman seperti pop ice). Anjir. Itu bener-bener hal paling anak SMP yang gue gak pernah sadari.

Jo yang kerjaannya hanya main kartu, main busa dan manjat pohon itu terbingung-bingung terhadap semua perubahan yang terjadi (ini kalau Jurnal Jo ramai lagi sekarang, mungkin Jo bisa dijuluki netizen sebagai pick me girl 😁). TAPI… I do really relate with that! Dulu gue sempat mendadak bingung kenapa semua orang tiba-tiba punya liptint dan pakai liptint diam-diam di sekolah (waktu itu lagi jaman banget Tony Moly HAHAHA, bener-bener hampir semua cewek punya). Gue langsung FOMO abis, dong???? Gue langsung cari tau liptint itu apa, cara pakenya gimana, fungsinya apa, dan yang bagus merk apa. Waktu itu, gue cuma tau lipstick yang biasa dipake nyokap, dan menurut gue kayaknya anak SMP pake lipstick itu too much banget. Hahahaha. Belum lagi peer pressure yang dirasakan Jo ketika teman-teman perempuan di kelasnya berdiskusi mengenai miniset. Wakakakak PLIS. Cerdas banget penulisnya menyebut miniset cukup sering sebagai tanda puber seorang anak cewek. Karena… indeed, miniset was A THING. 🤣

JurnalJo-Intro
Yes. Peer pressure mengenai miniset/bra ini emang ada ketika cewek-cewek lagi ganti baju sehabis pelajaran olahraga. Ketawa kenceng banget gue bagian ini.

Belum lagi waktu Jo akhirnya dipasangkan sama Rajiv—cowok India yang duduk di bangku SMA—untuk keperluan Karang Taruna. Jo yang awalnya anticowok banget (menurut Jo, cowok-cowok di SDnya tuh kotor, bau, dan suka caper/ganggu gitu😂 ) mau gak mau harus berurusan dengan Rajiv cukup sering. Terus, Jo juga ikut klub Sastra dan bertemu Andre, anak kelas 8 yang ganteng banget dan baca buku yang keren-keren (yang nama penulisnya aja sulit untuk dibaca).

Gue suka Rajiv! Hahahahah. Keren banget sih karakterisasinya. Jo awalnya selalu berpikir bahwa jadi dewasa dan growing up itu norak abis dan gak seru. Dia hanya ingin jadi anak SD yang selalu pake rok putih-merah dan main masak-masakan. Sementara itu, Rajiv ini anaknya sopan, bijaksana, pendengar yang baik, kalem, suka traktir Jo, dan bahkan betah membangun pembicaraan dengan orang tua (Jo heran banget dengan yang ini karena menurutnya orangtua itu sangat membosankan). Kadang Jo juga menganggap Rajiv itu jauuuuuh lebih tua darinya karena cowok itu sangat mature, padahal mereka cuma beda beberapa tahun aja. Kenal cowok seperti Rajiv, Jo sepertinya pelan-pelan jadi berpikir kalau growing up and becoming adult is not that bad. Karena, Rajiv is a really nice person who understands her the best.

Terus… gue juga suka mengenai pembahasan klub sastra dan dinamika hubungan Jo dan Andre. Ada gemas-gemasnya gitu. Yaaa…. pasti pernah dong naksir kakak kelas keren dan cakep??? Kira-kira gitu, lah. Jo yang anticowok dan menolak dewasa itu juga mengalami hal klise tersebut. Terus, kegiatan klub Sastra yang Jo ikuti ini diceritakan dengan detail dan gak membosankan sama sekali (bukan kegiatan tempelan yang sekedar lewat, seperti ekskul cheers atau basket di kebanyakan novel teenlit lainnya). Bener-bener keinget jaman sekolah dulu waktu jadi panitia atau jadi anggota ekskul yang serba-sibuk.

Gue cukup sering ketawa-ketawa gak jelas pas baca novel ini karena benar-benar ngingetin gue dengan masa-masa tolol waktu masih SD/SMP (oh, tentu ini bukan berarti gue tidak tolol sama sekali sekarang, ya). I really love this book! So pure… and genuine. Gue emang dasarnya selalu suka cerita coming-of-age-remaja-tanggung seperti ini. Baik di film maupun buku. Dibanding cerita bertokoh anak SMA maupun orang dewasa, gue lebih tertarik dengan cerita mengenai anak-anak. Gue juga gak tau kenapa, hehe.

Kadang bahkan gue bertanya-tanya, ada gak ya cerita (baik film dan buku) mengenai anak TK, yang tokoh utamanya benar-benar anak TK dan fokus ke kehidupan mereka ketika menjadi anak TK (bukan cerita maju-mundur yang kebanyakan fokus ketika mereka dewasa)? Kayak gue pengen tau apa sih masalah yang dihadapi anak TK, keresahan mereka, dan dinamika hubungan mereka dengan orang-orang di sekitarnya. Beneran deh, kalo ada yang tau, mungkin bisa kasih tau gue. Hehehehe. Tapi, gue paham sih kenapa cerita seperti itu jarang, karena gue sendiri pun sulit nge-recall apa yang gue alami waktu TK.

Mungkin, itu juga yang membuat gue suka dengan Jurnal Jo. Ken Terate menceritakan cerita anak cewek SMP, dengan konflik-konflik yang grounded dan relatable. Konflik-konflik ringan yang mungkin bagi orang dewasa gak begitu penting, tapi sebenarnya memang dialami oleh anak seumuran Jo. Seperti sahabat baik yang tiba-tiba berubah dan punya sahabat lain, naksir kakak kelas, semua teman di kelas yang tiba-tiba punya handphone, dan sebagainya (OH gue juga sangat relate akan hal ini waktu teman-teman di SD gue mendadak punya blackberry semua, dan gue terpaksa pinjem hp nyokap untuk bisa BBM-an sama teman-teman sekelas). Hal sesederhana itu bisa dibuat sangat menghibur dan menarik oleh narasi sudut pandang pertama dari Jo yang ditulis oleh Ken Terate. Love it!

Oh iya, walaupun gue suka Rajiv, karakter favorit gue di buku ini tetaplah Jo. Jo ini secara tidak sadar mengimani prinsip stoikisme dengan sangat baik. Ceilah gitu. Hahahaha. Dia gak pernah memaksakan diri seperti Sally, atau berusaha keras mengikuti orang-orang di sekitarnya. Walaupun ya… memang Jo terkadang kekanak-kanakan, tapi what do you expect dari seorang anak SMP, ‘kan? 🤣

Oh ya. Berikut tiga potongan paragraf yang menurut gue menarik di Jurnal Jo.

JurnalJo3
Lucu banget. Hahahaha. Ini beneran percakapan yang SANGAT anak SMP. Ya ampun, beneran kagum sama sensitivitas Ken Terate dan bagaimana beliau bisa sedetail itu recall masa-masa remajanya.
JurnalJo4
Beneran hobi semua anak SMP: cie-ciein cowok cewek dalam kesempatan apapun. Sampe yang awalnya biasa aja sama orangnya, jadi tiba-tiba benci. Karena kesel... karena malu. Hahaha.
JurnalJo-Intro
Aaaaaaa Rajiv!!!! Dia tuh thoughtful, kalem dan baik banget. Paling gak bisa deh gue sama cowok begini. Hahahahaha.

Adakah yang gue gak suka dari buku ini?
Untuk urusan typo atau EYD, gue mungkin tidak sedetail itu. Walaupun misalkan gue menemukan, gue gak pernah benar-benar mencatat dimana dan apa kesalahan yang gue temukan ketika gue membaca buku. Jadi… untuk urusan itu gue gak bisa komentar banyak. Mungkin… terkadang gue terkaget-kaget dengan kesinisan Jo. Aduh, agak takut dibilang polisi moral, sih. Sebetulnya, terkadang gue masih bisa menerima, mungkin itu adalah bentuk kejujuran seorang anak kecil. Tapi, kadang merasa gak nyaman aja dan gak nyangka kalau anak umur 12 tahun bisa sesinis itu. Hehehe. Walaupun yang seperti itu memang gak banyak, sih. Dan tidak semengganggu itu.

Other than that, I really love this book! ❤️

Oh iya… gue baca Jurnal Jo di iPusnas (gratis, coba google sendiri aja ya cara baca buku di iPusnas hehe) dan menghabiskan buku ini selama satu setengah hari, dimana setengah hari itu juga karena gue ketiduran dan udah malam. Jadi, untuk gue, buku ini emang bener-bener page-turner. 👍🏻

Sekian. Happy reading!

naznienfevrianne

naznienfevrianne

Hello. My name is Naznien Fevrianne. I'm an Information Systems undergraduate and currently interested in learning Data Science & Web Development. In this blog, I'll write about my study, the books I read, the movies I watch, and bunch of random things that interesting to write. I'm happy to receive any criticism and suggestions regarding this blog via contact section.

Comments

comments powered by Disqus