A Very Intense and Gripping Directing Debute — Autobiography (2022)
Written by naznienfevrianne on
Pertama kali Autobiography menarik perhatian gue adalah waktu film ini (an. Makbul Mubarak) memenangkan penulis naskah terbaik di Festival Film Indonesia. Gue sendiri memang paling memerhatikan kategori screenplay di acara award-award begini. Gak tau ya, menurut gue naskah adalah salah satu elemen terpenting pada sebuah film (tanpa naskah, susah untuk menentukan produser, sutradara, pemain bahkan sampai merancang funding-nya). Waktu itu, Autobiography belum tayang dimana-mana. Baru tayang terbatas di beberapa festival film aja. Membuat gue bertanya-tanya… kayak apa sih film yang ngalahin the infamous Ngeri-Ngeri Sedap itu?
Akhirnya, Autobiography premiere di tanggal 19 Januari. Gue kemudian nonton tanggal 23 Januari di Blok M Square (iya, gue tidak ikut JAFF). Oh iya. Film ini kenapa layarnya terbatas banget, ya?? Gue sempat baca di Twitter dan Instagram juga kalau Makbul Mubarak dan orang-orang yang terlibat di Autobiography ini sempat mengeluh tentang jatah layar film mereka. Kenapa gitu, ya? Gue kurang paham sih mengenai pembagian layar di bioskop ini, tapi rasanya sayang aja kalau film semacam Autobiography yang sudah menang banyak award-award prestisius gak bisa banyak ditonton orang-orang Indonesia karena layarnya yang sedikit. Sangat sulit untuk menemukan jadwal tayang Autobiography di bioskop-bioskop pinggiran Jakarta. Banyak orang bilang bahwa film-film festival Indonesia sulit untuk well-performed di penjualan tiket. Tapi, melihat fakta ini gue jadi merasa, jangan-jangan bukan karena kurang peminat… tapi karena memang ada masalah pada pembagian layar terhadap film-film lokal.
Film ini diawali dengan Rakib (Kevin Ardilova) yang selama ini menjaga rumah kosong yang besar kedatangan sang pemilik rumah, yaitu purnawirawan militer—Purnawinata (Arswendy Beningswara). Dari awal tuh, udah kerasa banget intensitas yang dibangun di film ini. Kita udah bisa tau lah power dan kekuasaan yang dimiliki oleh Purnawinata hanya dari satu kalimat singkat yang keluar waktu Rakib menyajikan kopi, “Siapa yang bilang saya minum kopi?”.
Arswendy Beningswara disini berhasil mematahkan rasa skeptis gue yang sebelumnya merasa bahwa beliau kurang cocok berperan sebagai purnawirawan militer. Ya, di benak gue purnawirawan militer itu yang tinggi, tegap dan buncit gitu, loh. Hahaha. Stereotipikal banget, ya. Tapi ternyata Arswendy Beningswara berhasil mainin karakternya Pak Purna yang penuh kekuasaan itu dengan baik. Mungkin juga karena dibantu dengan penulisan yang sangat baik, dialog-dialog Pak Purna ini emang omongan ngehe’ dari para so-called penguasa yang gue rasa cukup sering kita dengar.
Rakib akhirnya menjadi orang kepercayaan Purnawinata, salah satunya karena keluarga Rakib yang memang sudah bekerja dengan keluarga Purnawinata selama beberapa turunan. Rakib mulai menemukan sosok bapak di Purnawinata yang mungkin sulit diperolehnya selama ini karena sang bapak yang sudah bertahun-tahun mendekam di penjara. Segala macam nasehat dan doktrin Purnawinata benar-benar ia serap seperti spons. Rakib mulai diberikan kepercayaan dan diberi berbagai tugas. Sampai akhirnya, Purnawinata yang sedang mencalonkan menjadi walikota setempat melihat baliho kampanyenya dirusak. Rakib juga diminta untuk menyelesaikan hal tersebut.
Bintangnya disini menurut gue adalah Kevin Ardilova. Gue udah suka sama dia daridulu sih, Hahahaha. Temen-temen gue kayaknya cukup tau mengenai hal ini. Tapi serius yah gue gak bias kok disini. Kayaknya ini adalah penampilan terbaik doi deh. Gila banget. Dari awal dia yang takut-takut sama si Pak Purna, terus mulai dekat sama majikannya itu dan diberikan sedikit-sedikit kekuasaan. Keliatan banget si Rakib anak muda naif ini terlena dengan kekuasaan. Baru deh setelah tau sisi gelap dari kekuasaan yang dimiliki Pak Purna dia merasa harus mundur. Tapi… gak bisa. He plays Karib to the perfection. Selesai nonton ini gue sebenernya prefer Kevin Ardilova yang menang Pemeran Pria Terbaik di FFI kemarin, ya. Cuma Marthino Lio di Seperti Dendam juga keren, sih. Waktu gue baca di suatu artikel bahwa Makbul Mubarak memilih Kevin Ardilova karena aktor itu punya intensitas, gue rasa… gue sangat setuju akan hal tersebut. Hal itu yang gue juga temukan waktu menonton Kevin di Bebas dan Yuni.
Ada satu hal lagi yang menarik di film ini. Sinematografinya. Yah.. gue gak paham banget teknis ya sebetulnya. Tapi shot-shotnya itu, loh. Waktu Rakib sama Pak Purna belajar nembak bareng. I can really feel the intensity. Banyak shot-shot yang diambil sanggup meng-emphasize intensitas dari setiap scene. Oh god I could write a long essay about this. Gila banget. Skoringnya juga… such a chef kiss. Tepat guna. Gak heboh, tapi ada beberapa yang berhasil bikin gue merinding. The marketing team was right about that SeramTanpaSetan tagline. Emang ini film nyeremin banget, sih.
Oh iya. Film ini termasuk yang slow-pace tapi ternyata gue sama sekali gak bosan maupun ngantuk. Waktu itu, gue baru tidur dua jam dan gue udah yakin kalau gue SANGAT MUNGKIN ketiduran berapa menit di dalam bioskop, tapi nyatanya gue gak merasa ngantuk sama sekali. Pace-nya tepat. Lambat, intens, tapi gak dragging sama sekali. Love it. Gue juga sangat suka bagaimana Makbul Mubarak menggunakan catur sebagai semiotika disini. Kayak… iya ya, power play di catur itu ternyata menarik banget. Apalagi, bapak-bapak kayak Pak Purna ini biasanya into banget sama catur, kan. Hal yang sangat grounded banget, lah. Mungkin itu juga filosofi dari posternya yang keren itu. Duh. Gue jadi penasaran siapa yang bikin posternya.
Selain itu, awalnya… gue tuh cukup bingung kenapa judulnya Autobiography? Tapi, hal itu ternyata cukup kejawab setelah gue selesai menonton filmnya. Apalagi setelah gue nonton beberapa interview Makbul Mubarak yang menjelaskan mengenai filosofi pemilihan judul tersebut. Pemilihan judul menurut gue cukup esensial, sih. Mengingatkan gue akan Noktah Merah Perkawinan yang buaguuuus banget itu tapi gak perform cukup baik di bioskop. Hehehe.
Favorite scene
Spoiler alert!
- Waktu Rakib diajarin nembak burung dan dimandiin sama Pak Purna. Intensitasnya… gila.
- The redemption scene. Sunyi, mencekam, intens, bener-bener penuh teror. Merinding banget.
- Scene waktu karaoke. Anjeeeeng gue gak habis pikir banget sama scene ini. Kayak gak kepikir kalo itu adalah cara yang mereka pilih untuk nge-build klimaksnya. Agak sureal anjrit. Lagu Ruth Sahanaya yang Kaulah Segalanya itu gak akan sama bagi gue setelah nonton scene ini. Bangke. Oh. Gue juga suka banget sama extras-nya. Beneran natural dan sesuai gitu orang-orangnya. Dan yang gue gak nyangkanya, di salah satu wawancara disebut kalo para extras ini ternyata cuma anak paskib dan akamsi kampung tempat syuting tersebut aja. Wkwkwk gak nyangka banget.
Film ini menurut gue memberikan experience yang once in a lifetime sih, setidaknya untuk gue. Beruntung banget gue bisa sempet nonton di bioskop di tengah-tengah jumlah layarnya yang menurun dengan drastis. Gue sebelumnya sudah pernah nonton film pendek Makbul Mubarak yang berjudul Ruah (menang FFI juga kalo gak salah), dan gue sempat wondering, bagaimana kalau Makbul Mubarak diberi kesempatan untuk direct film panjang. Pertanyaan gue itu akhirnya terjawab. Makbul Mubarak dan Wregas Bhanuteja mungkin adalah salah dua sutradara yang baru memulai directing debute mereka yang akan gue tunggu terus film-film berikutnya. What a great debute!
Comments